Sabtu, 21 April 2012

Prinsip-prinsip Dasar Perkawinan


Prinsip-prinsip dasar perkawinan Islam yang harus diketahui oleh seorang konselor perkawinan dapat dirumuskan sebagai berikut:

1.    Dalam memilih calon suami/isteri, faktor agama/akhlak calon harus menjadi pertimbangan pertama sebelum keturunan, rupa dan harta, sebagaimana di-ajarkan oleh Rasul.
Wanita itu dinikahi karena empat pertimbangan, kekayaannya, nasabnya, kecantikannya dan agamanya. Pilihlah wanita yang beragama niscaya kalian beruntung. (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Pilihlah gen bibit keturunanmu, karena darah (kualitas manusia) itu menurun.
(H.R. Ibnu Majah).
2.   Bahwa nikah atau hidup berumah tangga itu merupakan sunnah Rasul bagi yang sudah mampu. Dalam kehidup-an berumah tangga terkandung banyak sekali keuta-maan yang bernilai ibadah, menyangkut aktualisasi diri sebagai suami/isteri, sebagai ayah/ibu dan sebagainya. Bagi yang belum mampu disuruh bersabar dan berpuasa, tetapi jika dorongan
nikah sudah tidak terkendali pada-hal ekonomi belum siap, sementara ia takut terjerumus pada perzinaan, maka agama menyuruh agar ia menikah saja, Insya Allah rizki akan datang kepada orang yang memiliki semangat menghindari dosa, entah dari mana datangnya (min haitsu la yahtasib).
Wahai pemuda, barang siapa diantara kalian sudah mampu untuk menikah nikahlah, karena nikah itu dapat mengendalikan mata (yang jalang) dan memelihara kesucian kehormatan (dari berzina), dan barang siapa yang belum siap, hendaknya ia berpuasa, karena puasa bisa menjadi obat (dari dorongan nafsu).
(H.R. Bukhari Muslim)
Kawinkanlah orang-orang yang masih sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak nikah diantara hamba-hamba sahayamu yang laki dan yang perempuan. Jika mereka fakir, Allah akan memampukan mereka dengan karunia Nya. Allah Maha Luas (pemberiannya) lagi Maha Mengetahui.
(Surat al Nur, 32)
3.  Bahwa tingkatan ekonomi keluarga itu berhubungan dengan kesungguhan berusaha, kemampuan mengelola (managemen) dan berkah dari Allah SWT. Ada keluarga yang ekonominya pas-pasan tetapi hidupnya bahagia dan anak-anaknya bisa sekolah sampai ke jenjang ting-gi, sementara ada keluarga yang serba berkecukupan materi tetapi suasananya gersang dan banyak urusan keluarga dan pendidikan anak terbengkalai. Berkah artinya terkum-pulnya kebaikan ilahiyyah pada sese-orang/ke-luarga/masyarakat seperti terkumpulnya air di dalam kolam. Secara sosiologis, berkah artinya terdayagunanya nikmat Tuhan secara optimal. Berkah dalam hidup tidak datang dengan sendirinya tetapi harus diupayakan.
Sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan ber-taqwa, niscaya Kami akanmelimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan dari bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami akan sisksa mereka disebabkan oleh perbuatan mereka.
(Surat al A’raf, 96)
Allah menyayangi orang yang bekerja secara halal, membelanjakan hasilnya secara sederhana, dan mengutamakan sisa (tabungan) untuk kekurangan dan kebutuhannya (di waktu mendatang).
(H.R. Ibn. Najjar dari Aisyah).
4.      Suami isteri itu bagaikan pakaian dan pemakainya. Antara keduanya harus ada kesesuaian ukuran, kese-suaian mode, asesoris dan pemeliharaan kebersihan. Layaknya pakaian, masing-masing suami dan isteri ha-rus bisa menjalankan fungsinya sebagai (a) penutup aurat (sesuatu yang memalukan) dari pandangan orang lain, (b) pelindung dari panas dinginnya kehidupan, dan (c) kebanggan dan keindahan bagi pasangannya. Dalam keadaan tertentu pakaian mungkin bisa diper-kecil, dilonggarkan, ditambah asesoris dan sebagainya, Mengatasi perbedaan selera, kecenderungan dan hidup antara suami isteri, diperlukan pengorbanan kedua belah pihak. Masing-masing harus bertanya: Apa yang
dapat saya berikan, bukan apa yang saya mau.
Mereka (isteri-isterimu) adalah (ibarat) pakaian kalian, dan kalian adalah (ibarat) pakaian mereka.
(Surat al Baqarah 187)
Sebaik-baik kamu adalah orang yang paling baik terhadap isterinya, dan aku (Nabi) adalah orang yang paling baik terhadap isteri.
(H.R. Turmuzi dari Aisyah)
5.   Bahwa cinta dan kasih sayang (mawaddah dan rahmah) merupakan sendi dan perekat rumah tangga yang sangat penting. Cinta adalah sesuatu yang suci, anuge-rah Tuhan dan sering tidak rationil. Cinta dipenuhi nuansa memaklumi dan memaafkan. Kesabaran, ke-setiaan, pengertian, pemberian dan pengorbanan akan mendatangkan/menyuburkan cinta, sementara penyelewengan, egoisme, kikir dan kekasaran akan menghilangkan rasa cinta.
Tanda-tanda cinta sejati ialah (1) engkau lebih suka berbicara dengan dia (yang kau cintai) dibanding berbicara dengan orang lain, (2) engkau lebih suka duduk berduaan dengan dia disbanding dengan orang lain, dan (3) engkau lebih suka mengikuti kemauan dia dibanding kemauan orang lain/diri sendiri).
Sekiranya engkau (Nabi) kasar dan keras hati ( kepada sahabat-sahabatnya), niscaya mereka lari dari sisimu.
(Surat AliImran, 159)
Tidak bisa memuliakan wanita kecuali lelaki yang mulia, dan tidak sanggup menghinakan wanita kecuali lelaki yang tercela. (Hadis)
6.      Bahwa salah satu fungsi perkawinan adalah untuk me-nyalurkan hasrat seksual secara sehat, benar dan halal. Hubungan suami isteri(persetubuhan) merupakan hak azazi, kewajiban dan kebutuhan bagi kedua belah pihak. Persetubuhan yang memenuhi tiga syarat (sehat, benar dan halal) itulah yang berkualitas, dan dapat menda-tangkanketenteraman (sakinah). Oleh karena itu, masing-masing suami isteri harus menyadari bahwa hal itu bukan hanya hak bagi dirinya, tetapi juga hak bagi yang lain dan kewajiban bagi dirinya. Dalam Islam, hubungan seksual yang benar dan halal adalah ibadah.
Firman Allah :
Dan diantara tanda-tanda kekuasan Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan rasa kasih saying diantaramu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
(Surat ar Rum, 21)
Nabi bersabda, Persetubuhanmu dengan isterimu itu mem-peroleh pahala. Para sahabat bertanya; Apakah orang yang menya-lurkan syahwatnya dapat pahala? Nabi menjawab : Tidakkah kalian tahu bahwa jika ia menyalurkan hasratnya di tempat yang haram, maka ia berdosa? Nah, demikian pula jika menyalurkan hasratnya kepada isterinya yang halal, maka ia memperoleh pahala.
(H.R. Muslim)
7.       Bahwa pergaulan dalam rumah tangga juga membu-tuhkan suasana dinamis, dialog dan saling menghargai. Kekurangan keuangan keluarga misalnya, oleh orang bijak dapat dijadikan sarana untuk menciptakan suasana dinamis dalam keluarga. Sebaliknya suasana mapan yang lama (baik mapan cukup maupun mapan dalam kekurangan) dapat menimbulkan suasana rutin yang menjenuhkan. Oleh karena itu suami isteri harus
pan-dai menciptakan suasana baru, baru dan diperbaharui lagi, karena faktor kebaruan secara psikologis membuat hidup menjadi menarik. Kebaruan tidak mesti dengan mendatangkan hal-hal yang baru, tetapi bisa juga barang lama dengan kemasan baru.
8.      Salah satu penyebab kehancuran rumah tangga adalah adanya orang ketiga bagi suami atau bagi isteri (other women/man). Datangnya orang ketiga dalam rumah tangga bisa disebabkan karena kelalaian/kurang was-pada (misalnya kasus adik ipar atau pembantu), atau karena pergaulan terlalu bebas (ketemu bekas pacar atau teman sekerja), atau karena
ketidak puasan kehidupan seksual, atau karena kejenuhan rutinitas. Suami/isteri harus saling mempercayai, tetapi harus waspada terhadap kemungkinan masuknya virus orang ketiga.
“Nabi melarang seorang lelaki memasuki kamar wanita yang bukan muhrim. Seorang sahabat menanyakan boleh tidaknya memasuki kamar saudara ipar. Nabi men-jawab: Masuk ke kamar ipar itu sama dengan maut (berbahaya).” (Hadis)
Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir, untuk bepergian selama tiga hari tanpa disertai muhrimnya.
(H.R. Bukhari, Muslim dan Abu Daud, dari Ibn Umar)
9.      Bahwa perkawinan itu bukan hanya mempertemukan dua orang; suami dan isteri, tetapi juga dua keluarga besar antar besan. Oleh karena itu suami/isteri harus bisa berhubungan secara proporsional dengan kedua belah pihak keluarga, orang tua, mertua adik, ipar dst.
10.    Bahwa masalah harta benda sering menjadi sumber perselisihan keluarga, baik selagi masih hidup maupun setelah ditinggal mati (warisan). Orang tua diajarkan untuk berlaku adil terhadap anak-anaknya -termasuk dalam hal pemberian harta-. Ada dua jalan untuk
menga-lihkan hak pemilikan harta orang tua kepada anak, yaitu hibah, yakni pemberian ketika orang tua masih hidup, dan pembagian harta warisan setelah orang tua mati.
Pedoman pembagian harta warisan dalam Islam sudah sangat jelas, tetapi kesepakatan keluarga (ahli waris) dapat membuat keputusan lain dalam pemba-gian harta. Harta waris yang diperoleh dengan cara re-butan/perselisihan biasanya tidak berkah, karena cara perolehannya disertai rasa permusuhan/tidak ridla.
Dan janganlah sebagian kamu memakan harta dari sebagian yang lain diantaramu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa urusan harta itu ke pengadilan supaya kamu dapat menguasai (harta orang lain) dengan cara dosa, padahal kamu mengetahui (kesalahanmu).
(Surat al Baqarah, 188)
11.     Bahwa karena selalu berdekatan, komunikasi antara suami isteri biasanya menjadi sangat intens. Kehar-monisan hubungan antara suami isteri dipengaruhi oleh kesamaan atau keseimbangan watak/temperamen, kesamaan hobbi, kedekatan visi dan sebagainya. Kehar-monisan suami dan isteri akan terwujud jika masing-masing berfikir untuk memberi, bukan untuk menun-tut, saling menghargai, bukan saling merendahkan. Dalam
kehidupan, seringkali dijumpai bahwa kesu-litan yang dihadapi justeru mengandung hikmah yang besar, asal orang dapat menerima dan menghadapinya secara benar dan sabar. Isteri biasanya kurang senang dinasehati suami jika nasehat itu seperti nasehat guru kepada murid, meskipun ia mengakui kebenaran na-sehat suaminya, demikian juga
sebaliknya.
Wahai orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan secara paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali seba-hagian dari apa yang telah engkau berikan kepada mereka, terkecualijika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Pergauilah mereka dengan secara patut, tetapi jika kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah), karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (An Nisa 19)
Tidak bisa memuliakan wanita, kecuali lelaki yang mulia juga, dan tidak sanggup merendahkan derajat wanita kecuali lelaki yang rendah (tercela) juga. (Hadis)
12.    Pada dasarnya sistem perkawinan dalam Islam adalah monogami. Poligami diperbolehkan hanya dalam keadaan tertentu, bagaikan pintu darurat, dan dengan per-syaratan-persyaratan yang berat. Secara sosiologis, poligami terjadi disebabkan oleh banyak hal, antara lain:
a.       Suami hanya menuruti dorongan syahwatnya, tanpa mengukur tanggung jawabnya.
b.   Isteri kurang mengerti hal-hal yang dapat mengikat perasaan suami untuk tetap konsentrasi di rumah.
c.    Pergaulan yang terlalu akrab dengan wanita lain, misalnya karena setiap hari selalu bersama (seperti teman sekerja), atau karena simpati kepada problem yang dihadapi si wanita itu sehingga si lelaki ter-dorong ingin menjadi dewa penolong.
d.      Perpisahan yang terlalu lama antara suami dan isteri.
e.    Campur tangan luar atau pelecehan harga diri suami oleh isteri/keluarganya sehingga suami merasa tidak berwibawa di rumah, dan selanjutnyya mencari kewibawaan di luar rumah.
f.   Isteri tak berdaya menghadapi kehendak suami, atau sefaham bahwa poligami itu manusiawi saja.
Poligami yang dilakukan demi menjaga kesucian, adalah lebih baik daripada toleransi terhadap perzinahan. Ungkapan yang berbunyi; jika ingin makan daging kambing cukup beli sate, tidak harus repot-repot me-melihara kambing, sebenarnya adalah ungkapan sesat dari orang bodoh.
Seorang bijak mengatakan bahwa poligami hanya bisa dilakukan oleh tiga orang, yaitu:
(1) oleh “raja”, yang dengan kekuasannya ia dapat mengatur isteri- isterinya,
(2) oleh orang berilmu, dimana dengan ilmunya ia bisa meminij keluarga besarnya,
(3) orang ngawur, dimana ngawurnya itu membuat-nya tak perduli dengan problem.
13.    Perceraian. Dilihat dari sudut hak dan kewajiban, perkawinan merupakan kontrak sosial yang mengikat antara suami dan isteri, yakni bahwa suami memikul kewajiban yang melahirkan hak, sebagaimana juga isteri memiliki hak-hak yang lahir dari kewajiban yang
dipikulnya.
Jika salah satu pihak tidak menjalankan kewajibannya, maka hal itu berpengaruh kepada hak-hak yang dimilikinya, dan sebaliknya menjadi hak bagi pihak lain untuk menggugatnya. Misalnya; suami wajib member nafkah keluarga, yang dengan itu suami memiliki hak untuk memimpin rumah tangga. Jika suami ternyata tidak sanggup memberi nafkah, seba-liknya isteri justeru bekerja keras dan bisa memberi nafkah keluarganya, maka hak kepemimpinan suami dalam rumah tangga pasti menjadi tidak penuh karena terdesak oleh kontribusi yang diberikan oleh isteri.
a.       Ta’lik talak yang diucapkan suami setelah akad nikah merupakan bentuk perlindungan kepada isteri dari kelalaian suami.
b.      Jika suami/isteri merasa bahwa hak-hak mereka tidak dipenuhi, sementara jalan keluar tidak ada, maka agama memberikan jalan keluar kepada pasangan itu untuk memilih satu dari dua pilihan: Kembali bersatu secara terhormat, atau berpisah secara baik-baik.
Talak yang dapat dirujuk itu hanya dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikannya dengan cara yang baik. (Q/2:229)
c.       Perceraian (talak) adalah sesuatu yang dihalalkan tetapi tidak disukai Tuhan. Sesuatu yang halal yang sangat dimurkai Allah adalah talak.
d.      Untuk mencegah terjadinya perceraian, dianjurkan keluarga turun tangan, yakni dengan mengirimkan tenaga mediasi (hakam).
Jika kamu khawatir akan terjadi persengeketaan di antara keduanya (suami isteri), maka kirimkanlah seorang pendamai (hakam) dari keluarga suami dan dari keluarga siteri. Jika kedua juru damai itu berniat untuk mendamaikan, niscaya Allah akan memberikan taufiq kepada kedua suami isteri itu. Sesunguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
 (An Nisa, 35)
e.        Perceraian yang ke I dan yang ke II (talak raj’i) tidak langsung memutuskan hubungan, oleh karena itu disediakan peluang untuk rujuk selama masa ‘iddah. Masa ‘iddah merupakan peluang bagi kedua belah pihak untuk merenungkan kembali hubungan diantara mereka. Pada rumah tangga yang beran-takan, anak-anak biasanya menjadi korban pertama dari apa yang dilakukan orang tuanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar